Kumpulan Cerpen Anak Terbaru 2019 - Cerpen anak yaitu sebuah karangan fiktif yang intinya tidak berbeda dengan hakikat cerpen maupun sastra fiksi pada umumnya. Cerpen sendiri merupakan sebuah karangan berbentuk prosa naratif dan fiktif dengan konten yang beranekaragam. Dengan kata lain, yang dimaksud dengan kisah pendek anak hanyalah salah satu jenis cerpen bila dibedakan berdasarkan sasaran usia pembacanya. Umumnya kisah pendek anak memakai bahasa yang lebih ringan, lebih imajinatif, lebih menarik, pemilihan kosa kata yang sederhana, tidak terlalu terikat dengan logika serta realita, dan mempunyai tema yang sesuai dengan perkembangan anak ibarat petualangan dan persahabatan. Dalam kisah pendek anak, tokoh utama bisa berusia berapa saja, asalkan ceritanya sesuai dengan diri anak-anak. Hanya saja, umumnya tetap ada huruf anak dalam kisah pendek yang
Kumpulan Cerpen Anak Terbaru 2019
PUTRI PERMEN
Oleh : Nani Asmarani
Ilustrasi : Farid S. Madjib
Tema : Tentang pertemanan, persahabatan
Namanya Lani, namun di sekolah beliau lebih dikenal dengan sebutan Putri Permen. Mau tahu mengapa? Karena beliau sangat suka membagi-bagikan permen kepada teman-temannya. Setiap hari beliau selalu membawa sekantong permen ke sekolah.
”Bu, mana permen-permen yang akan kubawa?” tanya Lani suatu pagi. Dia kebingungan alasannya tidak mendapati sekantong permen yang akan dibawa. Biasanya kantong plastik putih berisi permen sudah ada di akrab tas sekolahnya.
”Hari ini tidak ada permen lagi, Lan. Persediaan sudah habis. Nanti siang Ibu akan beli lagi di supermaket,” jawab ibu tak acuh.
”Ah, Ibu gimana, sih! Jika Lani tidak membawa permen niscaya teman-teman Lani menjauh. Lani tidak punya sobat lagi,” jawab Lani uring-uringan. Wajahnya merah, matanya berkaca-kaca.
”Lho, kau bisa kan bisa tetap punya sobat tanpa harus membawa permen?” kata ibu sambil memandang Lani. Rani cemberut mendengar komentar ibunya. Bulir air mata mulai berjatuhan di pipinya.
”Sudahlah! Ibu tidak sayang saya lagi,” sahut Lani sambil mengambil tas sekolahnya dengan kasar. Tanpa mengucap salam beliau pun berlari ke luar.
***
”Hai Putri Permen, bagi permennya , dong!” Cici, Ita, Nunik, Rino dan beberapa siswa menyambut kedatangan Lani dengan gembira. Lani tidak menjawab. Dia menunduk. Dia sama sekali tak menatap wajah teman-temannya.
”Maaf, Teman, kali ini saya tidak membawa permen. Aku akad besok akan membawanya,” jawab Lani terbata-bata.
”Wah, nggak asyik kalau main sama kau tanpa mengunyah permen!” komentar Rino.
”Iya, apalagi jikalau besok tidak membawa, kita cabut saja julukan Putri Permen darinya.” timpal Cici. Lani tak menghiraukan ocehan teman-temannya. Dalam hati beliau menyalahkan ibunya yang tidak menyediakan permen untuknya. Kini beliau dijauhi teman-temannya.
Pulang sekolah, wajah Lani masih terlihat kusut. Tanpa makan siang beliau eksklusif menuju kamarnya. Dia benar-benar murka kepada ibunya.
”Lan, ayo makan siang dulu!” kata ibu mencoba membujuk Lani. Hening, tak ada jawaban. Ibu kemudian menghampiri Lani yang sedang berbaring di kawasan tidur. Sebuah bantal menutupi wajahnya. Sekali lagi ibu membujuknya untuk makan siang. Namun Lani tetap bergeming.
”Ayo, nanti makan siangmu keburu dingin. Ada bakwan udang kesukaanmu, lo!” bujuk ibu lagi.
”Tidak mau. Aku kesal sama Ibu. Gara-gara tidak membawa permen, teman-teman menjauhiku. Julukan Putri Permen juga akan hilang jika besok saya tidak membawa permen lagi,” jawab Lani dengan bunyi keras.
”Besok saya tak mau sekolah jikalau tak ada permen!” ancamnya. Ibu hanya memandang Lani. Keningnya berkerut memikirkan sesuatu.
Esoknya, ibu masih belum juga menyediakan permen untuk Lani.
”Ibu memang benar-benar tidak sayang padaku!” teriak Lani kemudian pergi sekolah tanpa pamit. Ibu memandang Lani dari jauh. Ibu memang sengaja tidak membekali Lani dengan permen agar Lani mengerti bahwa untuk mempunyai sobat tak seharusnya dengan cara itu.
”Hai, itu Putri Permen datang, ayo kita serbu!” teriak Rino. Dia berlari menghampiri Lani diikuti Cici dan Ita.
”Hai Putri, mana permen-permennya, bagi dong?” ujar Cici, Rino, dan Ita serempak. Lani tidak menjawab. Dia eksklusif masuk ke dalam kelas. Rino dan kedua temannya saling pandang. Mereka mengejar Lani ke kelas.
”Lani, kau tidak bawa permen, ya? Itu artinya kau tak mau bertemu lagi dengan kami. Dan kau bukan lagi Putri Permen,” kata Ita berapi-api. Lani tetap diam. Matanya menatap serius puisi di kertas yang digenggamnya.
Hari itu Bu Irra, guru Bahasa Indonesia di kelasnya akan menilai kemampuan seluruh siswa dalam membaca puisi. Yang terbaik akan diikutsertakan dalam lomba membaca puisi antar sekolah. Keadaan kelas begitu tenang ketika pembacaan puisi dimulai. Bu Irra menilai dengan seksama setiap siswa yang tampil. Lani mendapat tepukan riuh ketika selesai membaca puisi. Bahkan ketika hasil evaluasi diumumkan Lani yang terpilih sebagai pemenang. Wow, Lani merasa bahagia sekali. Dia dikerumuni teman-teman sekelasnya yang memberinya ucapan selamat.
”Selamat ,ya, Lani, bagus sekali caramu membaca puisi tadi!” kata Indah dan Tari. Lani tersipu dipuji ibarat itu.
Sejak ketika itu Lani semakin dikenal di sekolahnya. Temannya pun semakin banyak. Mereka ingin berteman dengan Lani buka alasannya Lani memberi mereka permen , tapi alasannya beliau pintar membaca dan menulis puisi. Lani sekarang mengerti mengapa ibu tidak lagi membekalinya permen.
Suara Merdeka, 27 Januari 2013
Anjing dan Bayangannya
Seekor anjing yang mendapat sebuah tulang dari seseorang, berlari-lari pulang ke rumahnya secepat mungkin dengan bahagia hati. Ketika beliau melewati sebuah jembatan yang sangat kecil, beliau menunduk ke bawah dan melihat bayangan dirinya terpantul dari air di bawah jembatan itu. Anjing yang serakah ini menerka dirinya melihat seekor anjing lain membawa sebuah tulang yang lebih besar dari miliknya.
Bila saja beliau berhenti untuk berpikir, beliau akan tahu bahwa itu hanyalah bayangannya. Tetapi anjing itu tidak berpikir apa-apa dan malah menjatuhkan tulang yang dibawanya dan eksklusif melompat ke dalam sungai. Anjing serakah tersebut kesannya dengan susah payah berenang menuju ke tepi sungai. Saat beliau selamat tiba di tepi sungai, beliau hanya bisa bangun terdiam dan duka alasannya tulang yang di bawanya malah hilang, beliau kemudian meratapi apa yang terjadi dan menyadari betapa bodohnya dirinya.
======
Pemerah Susu dan Embernya
Seorang perempuan pemerah susu telah memerah susu dari beberapa ekor sapi dan berjalan pulang kembali dari peternakan, dengan seember susu yang dijunjungnya di atas kepalanya. Saat beliau berjalan pulang, beliau berpikir dan membayang-bayangkan rencananya kedepan.
"Susu yang saya perah ini sangat baik mutunya," pikirnya menghibur diri, "akan menawarkan saya banyak cream untuk dibuat. Saya akan menciptakan mentega yang banyak dari cream itu dan menjualnya ke pasar, dan dengan uang yang saya miliki nantinya, saya akan membeli banyak telur dan menetaskannya, Sungguh sangat indah kelihatannya apabila telur-telur tersebut telah menetas dan ladangku akan dipenuhi dengan ayam-ayam muda yang sehat. Pada suatu saat, saya akan menjualnya, dan dengan uang tersebut saya akan membeli baju-baju yang bagus untuk di pakai ke pesta. Semua perjaka ganteng akan melihat ke arahku. Mereka akan tiba dan mencoba merayuku, tetapi saya akan mencari perjaka yang mempunyai perjuangan yang bagus saja!"
Ketika beliau sedang memikirkan rencana-rencananya yang dirasanya sangat pandai, beliau menganggukkan kepalanya dengan bangga, dan tanpa disadari, baskom yang berada di kepalanya jatuh ke tanah, dan semua susu yang telah diperah mengalir tumpah ke tanah, dengan itu hilanglah semua angan-angannya wacana mentega, telur, ayam, baju gres beserta kebanggaannya.
Burung Gagak dan Sebuah Kendi
Pada suatu trend yang sangat kering, dimana ketika itu burung-burungpun sangat sulit mendapat sedikit air untuk diminum, seekor burung gagak menemukan sebuah kendi yang berisikan sedikit air. Tetapi kendi tersebut merupakan sebuah kendi yang tinggi dengan leher kendi sempit. Bagaimanapun burung gagak tersebut berusaha untuk mencoba meminum air yang berada dalam kendi, beliau tetap tidak sanggup mencapainya. Burung gagak tersebut hampir merasa frustasi dan merasa akan meninggal alasannya kehausan.
Kemudian tiba-tiba sebuah inspirasi muncul dalam benaknya. Dia kemudian mengambil watu yang ada di samping kendi, kemudian menjatuhkannya ke dalam kendi satu persatu. Setiap kali burung gagak itu memasukkan watu ke dalam kendi, permukaan air dalam kendipun berangsur-angsur naik dan bertambah tinggi hingga kesannya air tersebut sanggup di capai oleh sang burung Gagak.
Seruling Ajaib
Matahari bersinar dengan teriknya. Dimas, Bagas, Satria, dan Ludvi berjalan pulang sekolah menuju rumah Ludvi. Mereka akan mengerjakan kiprah kelompok. Saking panasnya, Bagas mengeluh,
“Mataharinya panas banget. Dimas, jajanin es dong.”
“Iya nih. Traktirin, ya… Please…” Satria memasang muka memelas.
“Ah, teman-teman, bentar lagi juga nyampe rumahku. Ntar begitu nyampe saya bikinin es teh, apa es jeruk, es buah, es sandal, terserah deh!” kata Ludvi sambil mengelap keringatnya.
Nampak sebuah mobil, ternyata kendaraan beroda empat Doni.
“Hai kawan-kawan!” sapa Doni membuka jendela mobil. “Cepetin jalannya, ya. Dadahh…” seru Doni.
Dimas hanya sebal. “Huh, makanya ajak kami juga dong!”
Sahabat-sahabatnya hanya ikut bersungut-sungut.
Tibalah mereka di rumah Ludvi. Benar, Dimas, Bagas, dan Satria disuguhi minuman es.
“Eh, mana es sandalnya?” canda Dimas
“Ih… Dimas, kau mau? Sana ambil sandalnya Ludvi. Sana…” sahut Satria bercanda. Mereka tergelak.
Satu jam kemudian, kiprah mereka telah selesai.
“Horee… Selesai. Main yuk!” ajak Ludvi senang.
“Ayo ayo,” balas Bagas mewakili sahabat-sahabatnya.
Mereka bermain petak umpet di lapangan. Tiba-tiba, datanglah pembuat onar. Ada Rifki, Abel, Rizal, dan Izzul.
“Heh, kalian. Ngapain main di lapangan kami?!” seru Rifki.
“Ini kan bukan lapangan kalian sendiri!” balas Bagas tak terima.
“Kalo gitu, masing masing beri Rp 5.000,00 ke kami!” kata Izzul.
“Ya nggak bisa,” sahut Dimas tidak terima juga.
Rifki mendorong Dimas hingga terjatuh dan terluka, kemudian meninggalkannya. Teman-teman Dimas mengerubungi Dimas.
“Dimas, kau nggak kenapa napa, kan? Ayo kuobati,” Bagas khawatir.
“Nggak apa kok. Cuma sikuku berdarah.” Dimas menatap lukanya. Namun ia merasa menduduki sebuah benda silinder.
“Ooh… seruling!”
Sahabat-sahabatnya mengerubungi. Dimas memainkan seruling, seketika lukanya sembuh. Semua kaget dan heran,
“Hah?! Lu… lukanya?” Bagas tergagap.
“Mainkan lagi,” pinta Satria.
Dimas melakukannya. Tumbuhan yang tadinya layu menjadi subur.
“Kita harus merahasiakan ini,” kata Ludvi pelan.
Namun Rifki dkk. telah mendengarnya. Mereka sembunyi di balik pohon besar.
“Kita harus mencurinya,” bisik Rizal.
“HARUS BRO!!” seru Abel.
“Diam Bel! Kedengeran nanti” bisik Izzul agak kesal. Tapi, Satria sudah mendengarnya.
“Ada yang mau mencuri seruling ini. Ayo sembunyikan!”
Mereka berlari ke rumah Ludvi. Rifki mengerjar. Namun malah di culik oleh seorang penculik. Kawan-kawannya berteriak.
“RIFKI!!!”
Ludvi yang masih di teras rumah mendengar. Segera ia mengajak teman-temannya menolong.
“Teman-teman, tampaknya Rifki sedang dalam bahaya. Ayo kita tolong!”
“Buat apa sih, Lud? Dia kan udah jahat sama kita!” bantah Bagas kesal pada Rifki dkk. Namun, kesannya Bagas masih berbelas kasihan. Mereka tiba di lapangan.
“Ada apa dengan Rifki?” tanya Satria bingung.
“Rifki di culik,” sahut Abel sedih. Tak jauh dari situ, Nampak seorang menaiki mobil, ternyata itu penculik Rifki. “I.. itu penculiknya!” seru Rizal marah.
“KEJAAR…!!!” teriak ketujuh anak itu berlari.
“Dimas, seruling!” sahut Izzul sambil berlari.
“Oh iya!” balas Dimas mengeluarkan seruling abnormal dari sakunya.
Dimas memainkannya. Dan seketika itu, sang penculik terangkat ke atas.
“Huwaa… apa ini? Tolong aku! Cepat!” penculik ketakutan
“Serahkan sobat kami! Lalu kami lepaskan.” kata Ludvi geram.
“Ya! Baik baik! Aku akad tak akan menculik anak anak lagi. Sekarang turunkan aku.”
“Janji ya!” tegas Izzul menatap tajam penculik.
Dimas berhenti memainkan serulingnya. Sang penculik kabur. Sebelumnya, ia menyerahkan Rifki. Rifki terlihat sangat lega.
“Te… sobat teman, makasih ya, sudah nyelamatin aku. Ng… Dimas, dan kawan-kawan, makasih banyak udah nolong aku. Padahal kami sudah jahat sama kalian. Dan maafin kami,” ujar Rifki tulus. “Mau ga jadi sahabat kita?”
“Tentu saja mau, kawan!” Dimas mewakili teman-temannya sambil merangkul Rifki.
Tiba tiba ada anak berlari menghampiri Dimas dkk.
“Hei, kalian yang di sana!” panggil anak itu.
Lalu ia berkata pada Dimas, “Itu seruling milikku. Tolong kembalikan.” serunya sopan dan ramah.
Dimas dan yang lainnya terkejut. Ternyata itu milik anak itu. Dimas menawarkan seruling itu ke anak itu yang tadinya seruling itu Dimas genggam.
Anak itu menatap serulingnya.
“Ini peninggalan dari kakekku. Tadi saya membawanya ke sini, ternyata terjatuh. Makasih, kalian sudah menemukannya.”
Sambil memberi senyum, anak itu memperkenalkan dirinya.
“Hai, namaku Novan!” katanya sambil mengulurkan tangan.
Bergantian mereka berkenalan. “Aku Dimas.” “Aku Rifki.” “Bagas.” “Satria.” “Abel.” “Rizal.” “Izzul.” “Aku Ludvi.”
Abel sambil menyengir, ia berkata
“Mau kan Novan jadi sahabat kita?”
Novan tak menyangka, ia bahagia sekali. Tak ragu ia mengiyakan.
“Mau dong! Aku kan suka punya sobat banyak!”
Pandu dan Pandi yaitu anak yang sangat ceria, mereka tinggal di Desa Jingga. Mereka kembar, teman-teman mereka yaitu Nuddin Azzkhalin, Jarot autta, Aussy, Essa, Cessa, Sessa, dan Witrya Aurynea. Mereka semua yaitu sepupu Pandu dan Pandi. Pandu dan Pandi akan mengajak mereka bermain di pondok pohon mereka, pondoknya berada di atas pohon. Dengan lincah Pandu dan Pandi naik ke atas, sepupu mereka segera menyusul. Di pondok mereka ada banyak buku, pastinya buku yang sangat diidamkan para kutu buku. Aku pun mengidamkannya tapi tidak bisa.
Nah, Pandi dan Pandu mulai memberi pertanyaan lucu buat mereka.
“apa yang di luar hitam di dalam putih?” Tanya Pandi disertai gelak tawa Pandu.
“Apa ya? hmm…” Seru mereka.
“Kue Tart susu!” Ujar Aussy.
“Bukan!” Sahut Pandi, lagi-lagi Pandu tertawa.
Karena kesal Aussy berkata, “apaan sih, Kak Pandu tertawa sendiri!” Timpalnya.
“Hmm… menurutku kertas hitam melapisi kertas putih! niscaya betul kan?” Sahut Nuddin dengan percaya diri.
“Salah!” Ucap Pandu dengan tertawa.
“Menyerah!” Ucap Jarot dengan angkuh.
“Huh, udah mengalah masih sombong” ucap Essa dan teman-teman sambil tertawa. Satu-persatu menjawab, tapi mereka salah.
“Mau tahu jawabannya?” Tanya Pandi.
“Mau,”
“Tempe” Ucap Pandu.
“Eehh… kau ini! Hmmm.. jawabannya..” Sahut Pandi menciptakan teman-temannya penasaran.
“Apa?” Tanya mereka.
“1… 2… 3… Jawabannya yaitu ‘Gigi Orang Afrika’ begini biasa kan orang afrika kulitnya Hitam mengkilat ketika senyum giginya terlihat Gigi Pepsodent super putihnya!” Ucap Pandi disertai tawa mereka.
“Trriiing!” Bel berbunyi.
Pandi dan Pandu dan teman-teman pun turun. Apa yang mereka lakukan? Pandi dan Pandu dan teman-teman pulang ke rumah, rumah Pandi dan Pandu yaitu rumah yang sangat besar dan dijadikan kawasan panti asuhan, jadi jangan salah paham Pandi dan Pandu yang punya rumah.
“Mama, Papa, sarapannya apa?” Tanya Pandu dan Pandi.
“Kesukaan kalian dan anak-anak” jawab Mama.
“Azzka, Essa, Pandu, Pandi nanti kalian pergi beli Bunga dan beberapa pohon ya! kalian yang pilih. Nanti kalian perginya diantar Pak korin” sahut Papa.
“iya pa” ucap Pandu dan Pandi.
“Siap banget, paman!” Ucap Azzka dan Essa.
Selesai makan, mereka siap-siap pergi.
“Wah, bunga azzalea-nya bagus, perpaduan dengan pohon yang itu aja ya!” Diskusi mereka.
Setelah 15 menit, mereka pun pulang. Keesokannya.
“hari ini yaitu hari dimana kalian harus ikut Paman Wicky pergi ke Jakarta, sekolah yang rajin ya!” Ucap Papa dan Mama.
“Bye-bye,” sahut mereka. Mereka akan pergi ke Jakarta untuk menuntut ilmu. Pandu dan Pandi dan sepupu mereka sekolah hingga 19 tahun kemudian, mereka pulang dan mereka telah selesai Sarjana.
Cerpen Karangan: Marisa
Facebook: Marisa Ling
Namaku Marisa saya yaitu anak yang cantik, selanjutnya add facebook saya saja ya, Marisa Ling, saya berjualan online shop… Jangan salah!