Setelah berakhirnya kekuasaan Inggris, yang berkuasa di Indonesia yaitu Pemerintahan Hindia Belanda.
Pada mulanya pemerintahan ini merupakan pemerintahan kolektif yang terdiri dari tiga orang, yaitu : Flout, Buyskess dan Van Der Capellen. Mereka berpangkat komisaris Jendral. Masa peralihan ini hanya berlangsung dari tahun 1816 – 1819. Pada tahun 1819, kepala pemerintahan mulai dipegang oleh seorang Gubernur Jendral Van Der Capellen (1816-1824)
Pada kurun waktu 1816-1830, kontradiksi antara kaum liberal dan kaum konservatif terus berlangsung. Sementara itu kondisi di negeri Belanda dan di Indonesia semakin memburuk. Oleh alasannya itulah anjuran Van Den Bosch untuk melakukan Cultuur Stelsel (tanam paksa) diterima dengan baik, alasannya dianggap sanggup memperlihatkan keuntungan yang besar bagi negeri induk.
a. Latar Belakang Sistem Tanam Paksa
1. Di Eropa Belanda terlibat dalam peperangan-peperangan pada masa kejayaan Napoleon, sehingga menghabiskan biaya yang besar.
2. Terjadinya Perang kemerdekaan Belgia yang diakhiri dengan pemisahan Belgia dari Belanda pada tahun 1830.
3. Terjadi Perang Diponegoro (1825-1830) yang merupakan perlawanan rakyat jajahan termahal bagi Belanda. Perang Diponegoro menghabiskan biaya kurang lebih 20.000.000 Gulden.
4. Kas negara Belanda kosong dan hutang yang ditanggung Belanda cukup berat.
5. Pemasukan uang dari penanaman kopi tidak banyak.
6. Kegagalan perjuangan mempraktekkan gagasan liberal (1816-1830) dalam mengeksploitasi tanah jajahan untuk memperlihatkan laba besar terhadap negeri induk.
b. Aturan-aturan Tanam Paksa
Ketentuan-ketentuan pokok Sistem Tanam Paksa terdapat dalam Staatblad (lembaran negara) tahun 1834, no. 22, beberapa tahun sehabis Tanam Paksa dijalankan di Pulau Jawa berbunyi :
1. Persetujuan-persetujuan akan diadakan dengan penduduk semoga mereka menyediakan sebagian dari tanahnya untuk penanaman tumbuhan ekspor yang sanggup dijual dipasaran Eropa.
2. Tanah pertanian yang disediakan penduduk, dilarang melebihi seperlima dari tanah pertanian yang dimiliki penduduk desa.
3. Pekerjaan yang diharapkan untuk menanam tumbuhan tersebut dilarang melebihi pekerjaan untuk menanam tumbuhan padi.
4. Tanah yang disediakan penduduk tersebut bebas dari pajak tanah.
5. Hasil dari tumbuhan tersebut diserahkan kepada pemerintah Hindia Belanda; Jika harganya ditaksir melebihi pajak tanah yang harus dibayar rakyat, maka kelebihan itu diberikan kepada penduduk.
6. Kegagalan panen yang bukan alasannya kesalahan petani, akan menjadi tanggungan pemerintah
7. Bagi yang tidak mempunyai tanah, akan dipekerjakan pada perkebunan atau pabrik-pabrik milik pemerintah selama 65 hari setiap tahun.
Ketentuan ketentuan tersebut memang kelihatan tidak terlampau menekan rakyat. Dalam prakteknya, sistem tanam paksa seringkali menyimpang, sehingga rakyat banyak dirugikan, misalnya:
1. Perjanjian tersebut seharusnya dilakukan dengan suka rela akan tetapi dalam pelaksanaannya dilakukan dengan cara-cara paksaan.
2. Luas tanah yang disediakan penduduk lebih dari seperlima tanah mereka. Seringkali tanah tersebut satu per tiga bahkan semua tanah desa dipakai untuk tanam paksa.
3. Pengerjaan tanaman-tanaman ekspor seringkali jauh melebihi pengerjaan tumbuhan padi. Sehingga tanah pertanian mereka sendiri terbengkelai.
4. Pajak tanah masih dikenakan pada tanah yang dipakai untuk proyek tanam paksa.
5. Kelebihan hasil panen sehabis diperhitungkan dengan pajak tidak dikembalikan kepada petani.
6. Kegagalan panen menjadi tanggung jawab petani
7. Buruh yang seharusnya dibayar oleh pemerintah dijadikan tenaga paksaan.
c. Akibat-akibat Tanam Paksa
Inilah pengaruh diberlakukannya sistem tanam paksa di Indonesia:
Bagi Belanda
1. Meningkatnya hasil tumbuhan ekspor dari negeri jajahan dan dijual Belanda di pasaran Eropa
2. Perusahaan pelayaran Belanda yang semula kembang kempis, pada masa Tanam Paksa mendapat laba besar
3. Pabrik-pabrik gula yang semula diusahakan oleh kaum swasta Cina, lalu juga dikembangkan oleh pengusaha Belanda alasannya manfaatnya besar.
4. Belanda mendapat laba (batiq slot) yang besar.
Bagi Indonesia
Dampak negatif :
1. Kemiskinan dan penderitaan fisik dan mental yang berkepanjangan
2. Beban pajak yang berat
3. Pertanian utamanya padi banyak mengalami kegagalan panen
4. Kelaparan dan final hayat terjadi dimana-mana.
5. Jumlah penduduk Indonesia menurun.
Dampak nyata :
1. Rakyat Indonesia mengenal teknik menanam jenis-jenis tumbuhan baru
2. Rakyat Indonesia mulai mengenal tumbuhan dagang yang berorientasi ekspor.
Karena reaksi-reaksi tersebut, secara berangsur-angsur pemerintah Belanda mulai mengurangi pemerasan lewat Tanam Paksa dan menggantikannya dengan sistem politik ekonomi liberal kolonial. Tonggak berakhirnya Tanam Paksa yaitu dengan dikeluarkannya Undang-Undang Pokok Agraria (Agrarische Wet), 1870.
Pada mulanya pemerintahan ini merupakan pemerintahan kolektif yang terdiri dari tiga orang, yaitu : Flout, Buyskess dan Van Der Capellen. Mereka berpangkat komisaris Jendral. Masa peralihan ini hanya berlangsung dari tahun 1816 – 1819. Pada tahun 1819, kepala pemerintahan mulai dipegang oleh seorang Gubernur Jendral Van Der Capellen (1816-1824)
Pada kurun waktu 1816-1830, kontradiksi antara kaum liberal dan kaum konservatif terus berlangsung. Sementara itu kondisi di negeri Belanda dan di Indonesia semakin memburuk. Oleh alasannya itulah anjuran Van Den Bosch untuk melakukan Cultuur Stelsel (tanam paksa) diterima dengan baik, alasannya dianggap sanggup memperlihatkan keuntungan yang besar bagi negeri induk.
Tanam paksa menciptakan rakyat Indonesia menderita |
1. Di Eropa Belanda terlibat dalam peperangan-peperangan pada masa kejayaan Napoleon, sehingga menghabiskan biaya yang besar.
2. Terjadinya Perang kemerdekaan Belgia yang diakhiri dengan pemisahan Belgia dari Belanda pada tahun 1830.
3. Terjadi Perang Diponegoro (1825-1830) yang merupakan perlawanan rakyat jajahan termahal bagi Belanda. Perang Diponegoro menghabiskan biaya kurang lebih 20.000.000 Gulden.
4. Kas negara Belanda kosong dan hutang yang ditanggung Belanda cukup berat.
5. Pemasukan uang dari penanaman kopi tidak banyak.
6. Kegagalan perjuangan mempraktekkan gagasan liberal (1816-1830) dalam mengeksploitasi tanah jajahan untuk memperlihatkan laba besar terhadap negeri induk.
b. Aturan-aturan Tanam Paksa
Ketentuan-ketentuan pokok Sistem Tanam Paksa terdapat dalam Staatblad (lembaran negara) tahun 1834, no. 22, beberapa tahun sehabis Tanam Paksa dijalankan di Pulau Jawa berbunyi :
1. Persetujuan-persetujuan akan diadakan dengan penduduk semoga mereka menyediakan sebagian dari tanahnya untuk penanaman tumbuhan ekspor yang sanggup dijual dipasaran Eropa.
2. Tanah pertanian yang disediakan penduduk, dilarang melebihi seperlima dari tanah pertanian yang dimiliki penduduk desa.
3. Pekerjaan yang diharapkan untuk menanam tumbuhan tersebut dilarang melebihi pekerjaan untuk menanam tumbuhan padi.
4. Tanah yang disediakan penduduk tersebut bebas dari pajak tanah.
5. Hasil dari tumbuhan tersebut diserahkan kepada pemerintah Hindia Belanda; Jika harganya ditaksir melebihi pajak tanah yang harus dibayar rakyat, maka kelebihan itu diberikan kepada penduduk.
6. Kegagalan panen yang bukan alasannya kesalahan petani, akan menjadi tanggungan pemerintah
7. Bagi yang tidak mempunyai tanah, akan dipekerjakan pada perkebunan atau pabrik-pabrik milik pemerintah selama 65 hari setiap tahun.
Ketentuan ketentuan tersebut memang kelihatan tidak terlampau menekan rakyat. Dalam prakteknya, sistem tanam paksa seringkali menyimpang, sehingga rakyat banyak dirugikan, misalnya:
1. Perjanjian tersebut seharusnya dilakukan dengan suka rela akan tetapi dalam pelaksanaannya dilakukan dengan cara-cara paksaan.
2. Luas tanah yang disediakan penduduk lebih dari seperlima tanah mereka. Seringkali tanah tersebut satu per tiga bahkan semua tanah desa dipakai untuk tanam paksa.
3. Pengerjaan tanaman-tanaman ekspor seringkali jauh melebihi pengerjaan tumbuhan padi. Sehingga tanah pertanian mereka sendiri terbengkelai.
4. Pajak tanah masih dikenakan pada tanah yang dipakai untuk proyek tanam paksa.
5. Kelebihan hasil panen sehabis diperhitungkan dengan pajak tidak dikembalikan kepada petani.
6. Kegagalan panen menjadi tanggung jawab petani
7. Buruh yang seharusnya dibayar oleh pemerintah dijadikan tenaga paksaan.
c. Akibat-akibat Tanam Paksa
Inilah pengaruh diberlakukannya sistem tanam paksa di Indonesia:
Bagi Belanda
1. Meningkatnya hasil tumbuhan ekspor dari negeri jajahan dan dijual Belanda di pasaran Eropa
2. Perusahaan pelayaran Belanda yang semula kembang kempis, pada masa Tanam Paksa mendapat laba besar
3. Pabrik-pabrik gula yang semula diusahakan oleh kaum swasta Cina, lalu juga dikembangkan oleh pengusaha Belanda alasannya manfaatnya besar.
4. Belanda mendapat laba (batiq slot) yang besar.
Bagi Indonesia
Dampak negatif :
1. Kemiskinan dan penderitaan fisik dan mental yang berkepanjangan
2. Beban pajak yang berat
3. Pertanian utamanya padi banyak mengalami kegagalan panen
4. Kelaparan dan final hayat terjadi dimana-mana.
5. Jumlah penduduk Indonesia menurun.
Dampak nyata :
1. Rakyat Indonesia mengenal teknik menanam jenis-jenis tumbuhan baru
2. Rakyat Indonesia mulai mengenal tumbuhan dagang yang berorientasi ekspor.
Karena reaksi-reaksi tersebut, secara berangsur-angsur pemerintah Belanda mulai mengurangi pemerasan lewat Tanam Paksa dan menggantikannya dengan sistem politik ekonomi liberal kolonial. Tonggak berakhirnya Tanam Paksa yaitu dengan dikeluarkannya Undang-Undang Pokok Agraria (Agrarische Wet), 1870.